November 27, 2013 : by Debora Thea / Universitas Multimedia Nusantara News Service
Kehadiran media digital sebagai penerus dari media konvensional sedikit banyak mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap masalah dan persoalan di kehidupan sehari-hari. Pengetahuan dan awareness terhadap jenis media ini kerap dibagikan melalui seminar, konferensi maupun diskusi dan salah satunya CoNMedia 2013 yang diselenggarakan oleh UMN.
Media digital yang menjadi suatu bentuk media baru hasil perkembangan teknologi dan informasi telah memberikan banyak perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Kemajuan ini akan memberikan dampak yang berbeda dengan apa yang mampu dilakukan media konvensional sebelumnya. Untuk mengenal dan mengetahui lebih jauh mengenai apa yang dapat dihasilkan oleh media digital di masa depan, dilakukan sharing informasi melalui berbagai kegiatan salah satunya dengan konferensi.
Universitas Multimedia Nusantara (UMN) sebagai universitas yang berbasis ICT dalam pembelajarannya, ikut berpartisipasi dalam mengedukasi masyarakat mengenai new media studies melalui Conference of New Media Studies (CoNMedia) 2013. Konferensi internasional ini dilaksanakan di kampus UMN, Gading Serpong, Tangerang, Rabu (27/11) dan Kamis (28/11) dengan menghadirkan pembicara-pembicara yang tidak hanya dari Indonesia tetapi juga dari luar negeri. Topik yang dibahas meliputi semua aspek new media studies seperti konten media baru, bisnis dan teknologi.
Konferensi selama dua hari ini mengambil tempat di New Media Tower UMN, Gedung C Lantai 3. Pembukaan CoNMedia 2013, Rabu (27/11) dilakukan oleh Rektor UMN Dr. Ninok Leksono dilanjutkan dengan empat keynote speaker terkemuka yang membawakan seminar dengan pembahasan yang berbeda-beda. Mereka adalah Prof. Tahee Kim (Youngsan University, Korea), Kuncoro Wastuwibowo (Chairman IEEE Indonesia Section), Prof. Dr. Ir. Richardus Eko Indrajit (Chairman APTIKOM) dan Prof. John Cokley (Swinburne University, Australia).
Prof. Tahee Kim mengawali diskusi dengan sebuah presentasi mengenai philosophical and aesthetic background of interactivity and user experience. Adanya transisi dari estetika yang ditawarkan seni yang kontemporer dan modern. Prof. Kim mengambil contoh lukisan Monalisa sebagai seni kontemporer yang nilai keindahannya dilihat dari objek dan lukisan ini diam tak bergerak. Kemudian dalam perkembangannya muncul suatu pemahaman dari Marcel Duchamp, ” The creative act is not performed by the artist alone; the spectator brings the work in contact with the external world by deciphering and interpreting its inner qualifications and thus adds his contribution to the creative act” Dengan kata lain, estetika tercipta dari kolaborasi antara seniman dan penikmat seni.
Dari konsep tersebut muncul interactive media, sebuah objek seni interaktif yang melunturkan pembatas antara karya dan penikmatnya. Objek itu bergerak dan berubah mengikuti interaksi dari spectator. Misalnya saja sebuah gambar yang bergerak dan bisa berubah mengikuti pergerakan orang yang sedang melihatnya dan berada di jarak sensor. Ada kamera video yang memantau setiap pergerakan viewers. Inilah karya seni yang dinamis dan perilaku spectatordirefleksikan olehnya. Prof. Kim menyebutkan sebagai mirror metaphor.
Membahas mengenai Converged Digital Ecosystem, Chairman IEEE Mr. Kuncoro Wastuwibowo mengatakan bahwa dalam konteks bisnis dan teknis, tidak direkomendasikan untuk mengisolasi network, pelayanan, jasa dan konten yang sedang berkembang. IEEE sebagai organisasi internasional yang mengembangkan teknologi, telah merancang dan menetapkan standard untuk IP-based Next Generation Service Overlay Network (NGSON) sebagai kerangka untuk mengkonvergensi digital ecosystem. Kemudian, implementasi dari context awareness telah diperluas ke ranah aplikasi, pelayanan dan network configuration serta harus diintegrasikan ke perencanaan ecosystem.
Education and Digital Journalism Based on New Media
New Media juga dikembangkan dalam bidang pendidikan. Di era globalisasi, kualitas SDM memiliki peran yang penting. Hingga saat ini, pendidikan atau kampus masih lebih banyak berpusat di Jawa dan Sumatera sedangkan di bagian timur Indonesia masih sedikit. Banyak daerah yang sebenarnya punya potensi besar tapi masih belum memiliki kampus, sarana pendidikan atau orang-orang yang kompeten. Padahal di tahun 2015 akan ada persaingan global di mana orang-orang dari negara lain akan mudah keluar masuk Indonesia, maka menurut Prof. Dr. Ir. Richardus Eko Indrajit dari APTIKOM, ini merupakan sesuatu yang harus dibenahi. “Mimpi kami ialah mencapai pendidikan yang berkualitas,” ungkap beliau.
Ditinjau dari sisi tenaga pendidik, Indonesia bisa dikatakan masih kurang. “Tahun depan ada peraturan baru pemerintah kalau mau menjadi dosen minimal harus bergelar Master. Sekarang ini lebih dari 50% dosen Indonesia masih bergelar Bachelor,” jelas Prof. Eko. Hal ini bisa mengakibatkan daya saing Indonesia rendah. Untuk itu beliau memikirkan suatu cara yang out of the box untuk mengatasi permasalahan tersebut. Ditilik dari jaman yang semakin berkembang, new media dijadikan solusinya. Adanya konvergensi EMC in C3 (Entertainment Media Communication in Consumers-Computer-Communication) membuat orang merasakan adanya multimedia portable communication dengan penggunaan internet dan smartphone. Karena itu disusun konsep untuk membuat kelas dengan sistem cloud computing.
Belajar dapat dilakukan di mana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Profesor dapat bertatap wajah langsung dengan mahasiswa-mahasiswinya melalui conference secara virtual, materi-materi disimpan dalam suatu server sehingga semua bisa akses. Sistem pembelajaran seperti ini meskipun masih mengalami kendala di koneksi jaringan atau platform untuk multi interaction, tetapi metode ini telah diterapkan dan masih terus dikembangkan oleh APTIKOM.
Pembicara terakhir, Prof. John Cokley (Swinburne University, Australia) membahas mengenai riset bersama salah satu mahasiswanya mengenai Citizen Journalism di Indonesia. Siapa saja yang menjadi CJ, tugas-tugas apa yang mereka lakukan, tools yang digunakan dan hubungannya dengan audience.
Berdasarkan riset tersebut, Prof. Cokley memberikan sepuluh rekomendasi jika ingin menjadi Citizen Journalist di Indonesia, antara lain; membentuk komunitas online dan memanfaatkannya untuk membentuk komunitas jurnalistik dan audience, menggunakan smartphone untuk mengirim pesan danweb publishing, melakukan training in time management untuk membantu pekerjaan anda, gunakan bahasa ibu dalam penulisan berita, tempat yang strategis untuk menjangkau audience seperti alun-alun, balai, warteg dan warung, menulis berita dengan topik yang digemari dan diinginkan oleh masyarakat, menghormati agama islam sebagai agama mayoritas, menyediakan konten untuk middle-age woman, televisi, youtube dan smartphone menjadi tools of choice serta membuat konten untuk orang-orang di institusi pendidikan dan pemerintahan.
CoNMedia 2013 akan kembali diadakan Kamis (28/11) dengan pembicara-pembicara yang akan membawakan topik-topik yang tak kalah menarik (*)