October 13, 2013 : by Debora Thea / Universitas Multimedia Nusantara News Service
Dalam acara bicaRA buKu (RAK) UMN
perdana, Jum’at (11/9), Pepih Nugraha dalam bukunya yang berjudul
Citizen Journalism (CJ) memaparkan bahwa CJ telah menjadi sebuah
transmisi, warga bukan hanya sebagai penerima saja tapi juga sebagai
pewarta.
Sebagai wartawan maupun citizen journalist (CJ), Kang Pepih menjelaskan bahwa keduanya harus memiliki nose for news, yakni curiosity (keingintahuan), skeptic (keragu-raguan), observation (mengawasi), change (mengamati perubahan perilaku), dan compare
(mengamati perbandingan). Berangkat dari sana, CJ bisa menuliskan
berita atau opini yang dituangkan dalam postingan di blog ataupun media
seperti Kompasiana. Dan bukan hanya itu saja, tapi juga mencakup fiksi,
tips dan tutorial. Tulisan tentunya juga memperhatikan news value.
Meski demikian, ada hal yang perlu digarisbawahi bahwa CJ tidak bisa disebut sebagai wartawan. “Citizen Journalism lebih pas disebut pewarta warga karena
kalau kita menjadi seorang wartawan, pertama kita harus punya pekerjaan
itu. Lalu kita perlu melakukan cover both side terhadap suatu isu dan
juga verifikasi. Pewarta warga tidak melakukan itu. Yang terakhir,
wartawan akan terpaku pada kode etik wartawan sementara CJ hanya
berpegang pada netiket atau sopan santun berinternet,” ungkap wartawan
Kompas sekaligus manajer Kompasiana itu. Beliau pun menambahkan di
samping perbedaan tersebut, tetap ada tujuh dosa besar yang harus
dihindari oleh wartawan maupun CJ, dan semuanya dijelaskan dalam buku Citizen Journalism karangannya.
Dalam acara tersebut, kang Pepih turut sharing mengenai asyiknya menjadi CJ dengan blog pribadi. Ia mulai menggeluti social media
(blog) tahun 2005 dengan sebuah blog dengan nama ‘Beranda T4 Berbagi’.
Salah satu postingannya ialah ia mempertanyakan dan menganalisa mengapa
orang Indonesia kalau ada acara bangku terdepan selalu kosong. Apakah
karena orang Indonesia sangat menghormati senior atau merasa rendah diri
untuk duduk di depan. “Kalau saya tulis berita ecek-ecek seperti itu di
harian Kompas, tidak mungkin. Apa urusannya, itu opini bukan peristiwa,
bukan berita. Tapi kalau saya nulis di blog asik-asik aja, enggak ada
yang larang dan bahkan ada yang berkomentar, bertestimoni. Lama-lama
merasa asik nulis di blog,” katanya.
Kegiatan ngeblog Kang Pepih tersebut
akhirnya menjadi bahan kritikan di kalangan wartawan Kompas, tapi itu
malah membuatnya semakin teguh. Tahun 2008, beliau mendapat kesempatan
untuk membentuk Kompasiana dengan mengedepankan connecting & sharing. “Saya nulis tiba-tiba sudah ada yang komen. Itulah arti dari connecting, bisa terhubung. Dan bisa sharing meskipun beritanya ecek-ecek. Kalau di Kompas cetak hanya bisa sharing tapi saya tidak tau gimana reaksi pembaca terhadap tulisan saya.”
Hingga tahun yang kelima, Kompasiana
yang terbuka untuk publik dan gratis, bisa menghasilkan 1000 tulisan
setiap harinya. “Inilah gairah warga yang tak bisa ditahan,” tuturnya.
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.