Senin, 06 Oktober 2014

Re : Suara Hati Pelacur Lesbian

September 26, 2014 : by Debora Thea / Universitas Multimedia Nusantara News Service

Tidak pernah ada perempuan yang bercita-cita untuk menjadi pelacur. Tapi apa daya, RE terjerumus ke dalam perangkap pelacuran dan terpaksa membayar ‘hutangnya’ dengan melayani sesama jenis seumur hidupnya. 

Maman Suherman membacakan surat terakhir dari RE untuknya

RE lari dari rumah ketika berusia 16 tahun dalam keadaan hamil, dihamili oleh guru SMPnya. Sampai di Jakarta, ia tidak sengaja bertemu dengan seorang ibu yang sangat baik hati, mempersilahkan RE yang tidak memiliki apa-apa untuk tinggal di rumahnya. Setelah RE melahirkan anaknya, tiba-tiba ibu itu memperlihatkan sejumlah tagihan. Ternyata, semua yang telah digunakan RE selama tinggal di rumah tersebut dihitung, dan untuk membayar hutang-hutangnya tersebut, RE diharuskan untuk menjadi pemuas nafsu dari sesama jenisnya dengan target 120 orang per bulan. Ia terjerembab ke dalam lubang pelacuran lesbian.

RE tidak ingin sang anak mengetahui siapa dan apa pekerjaan ibunya, maka ia menitipkan anaknya dan hanya berani melihat dari kejauhan. “Anak itu suci, saya tidak ingin keringat pelacur menempel di tubuhnya,” begitu katanya. Semua jerih payah yang dikumpulkannya selama menjadi pelacur dikumpulkannya demi menghidupi anaknya, hingga akhir hayatnya. Hutang RE waktu itu sudah lunas, tapi ia tetap tidak bisa keluar dari jerat pelacuran. Sang ‘mami’ akan menyiksa siapapun yang ingin keluar dengan cara yang sadis. RE ternyata juga mengakhiri hidupnya dengan tragis. 

Itulah sepenggal kisah dari buku “RE:” karangan Maman Suherman, seorang jurnalis, pembawa acara TV dan juri program comedy. Dalam acara Bicara Buku (RAK) UMN yang diselenggarakan oleh perpustakaan UMN dan himpunan mahasiswa Ilmu Komunikasi (I’M KOM), Kamis (25/9), Maman mengupas habis latar belakang dari buku keempatnya tersebut, yang diketahui sebagai hasil skripsinya di jurusan Kriminologi UI yang ditulis kembali dalam bentuk novel. “RE itu memang berdasarkan kejadian nyata, di surat terakhirnya, ia meminta saya untuk mengabarkan cerita ini. Buku RE ini seperti cara saya membayarkan hutang saya kepadanya, karena ia juga telah banyak membantu saya,” tutur Maman. 

Novel ini memang mengandung unsur emosional dan subjektif dari sang penulis. Maman bergaul dan terjun langsung, menginvestigasi dunia ‘gelap’ RE dengan menjadi sopir selama dua tahun. Dari sana,  ia juga banyak dibantu oleh RE, seperti untuk membayar kuliahnya hingga memberikannya beasiswa. Semua itu yang membuat Maman merasa memiliki hutang pada RE. 

Ada banyak nilai yang ditonjolkan Maman dalam “RE:” terutama mengenai sosok perempuan dan ibu. “Seperti RE, orang yang jasanya paling besar terhadap anaknya adalah ibu, apapun profesinya. Jangan mudah menjudge orang hanya dengan melihat dari profesi. Dan hal lainnya, RE bicara tentang harkat keperempuanan, harkat seorang ibu. Seperti potret ibu saya dan teman-teman perempuan saya,” ungkapnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.